Memaafkan Diri Sendiri



Pernahkah kamu merasa tidak pernah bisa bebas dari kesalahan dari masa lalu? Kamu tidak bisa sepenuhnya move on dari itu. Setiap hari selalu ada penyesalan. Hidup terasa berhenti. Kamu anggap dirimu sebuah kegagalan.

Aku merasakannya. Dan, sampai sekarang masih berusaha untuk bebas dari rasa bersalah itu.

Aku anggap itu sebuah kesalahan karena time zone yang kumiliki begitu terlambat. Telat. Itu aku rasakan ketika aku membandingkannya dengan journey yang orang lain lalui. Di umur yang sudah kepala tiga, aku membayangkan diriku yang secara materi sudah tidak perlu repot. Agus yang bisa membantu keluarga dengan limpahan materi yang dimilikinya. Agus yang sudah ahli di satu bidang tertentu. Agus yang sudah menjadi something!

Keputusan yang masih kuanggap sebuah kesalahan adalah ketika SMK menjadi pilihan. Aku tidak paham sama sekali masalah pendidikan. Apalagi keluargaku; bapak yang tidak sekolah sama sekali. Ibu yang hanya sekolah SD sampai kelas 2. Semua kakakku? Mereka hanya memakan bangku sekolah sampai tingkat SD. Eh, kecuali, ada satu kakak paling dekat. Dia belajar sampai bangku SMK. Tetapi, dia juga sama sekali tidak memahami pendidikan.

Sebenarnya, ketika aku bingung harus melanjutkan kemana, aku berkonsultasi dengan guru BK. Bu Ai memberi saran agar aku ke SMA. Mungkin beliau sudah melihat potensiku yang lebih menonjol di bidang akademis. Aku tidak menurutinya. Hal itu yang menjadi alasan utama rasa bersalah itu selalu muncul.

Dan, bam! SMK menjadi sebuah mimpi buruk selama tiga tahun. Aku merasa berbeda dengan semua teman sekelas dan sejuruan sejak awal masuk. Aku sama sekali tidak mengenal jurusan yang aku ambil; Teknik Mekanik Automotif. Keluarga yang sama sekali tidak memiliki kendaraan, ditambah aku yang tidak pernah keluar rumah untuk bergaul, membuatku nihil pengalaman dan pengetahuan seputar kendaraan. Ya, walaupun jurusan itu sebenarnya hanya terapan dari ilmu fisika dan kimia sebenarnya. Aku kesulitan mengikuti semua materi kejuruan.

SMK semakin menjadi neraka karena aku yang juga kesulitan bergaul dengan orang lain, terutama laki-laki. Aku merasa kesulitan bergaul dengan laki-laki seusia. Aku yang hanya suka ilmu pengetahuan, film, musik, dan soal gaya hidup sama sekali tidak cocok dengan boys talk yang membicarakan olahraga, otomotif, dan perempuan. (Walaupun belakangan agak bisa nyambung ketika membahas dirty talk)

Semua menjadi semakin sulit ketika aku juga harus tinggal di sebuah pesantren tradisional karena keluargaku kekurangan uang. Aku saja sekolah dibiayai oleh Kaka. Itu juga yang semakin membuatku makin merasa bersalah. Kesempatan yang kakak berikan tidak benar-benar kuambil.

Namun, sekarang aku sedang berusaha memaafkan diriku di masa lalu. Ya memang, karena pilihanku itu aku sekarang tidak bisa kerja di LIPI atau menjadi seorang ahli di bidang tertentu. Mungkin hal itu juga dikarenkan cita-cita yang tidak jelas alias tidak punya arah, serta kesungguhan yang jauh dari kata cukup. Di akhir sekolah SMP, aku ingin sekali menjadi penemu atau inventor di bidang fisika kerena jatuh cinta kepada semikonduktor di akhir semester. Cita-cita itu berubah entah ketika akhir SMK. Memasuki usia dewasa, hidup benar-benar terasa semakin rumit. Aku berusaha memaafkan diri atas pilihan-pilihanku itu. Hanya cara itu yang bisa membuatku terbebas dari rasa bersalah.

Aku juga berusaha menghargai diriku di masa lalu yang setiap hari berusaha beradaptasi dengan sekolah, bergaul teman-teman yang asing, tidur dan makan pesantren tradisional, dan bertahan untuk bisa lulus. Aku menerima diriku yang sekarang. It's my best version of myself . Ini adalah jalan terbaik akibat pilihan yang kubuat. Aku menerima diriku di masa kini.

Akhirnya, aku mencintai diriku. Aku masih punya kesempatan. Aku yang lebih dewasa, lebih bisa menentukan arah tujuan. Aku berhak sampai di tujuanku itu. Aku mencintai diriku dengan membebaskan diri dari masa lalu dan terus berusaha lebih baik untuk masa depan!

Itu semua proses; menerima, memaafkan, menghargai, kemudian mencintai diriku. Aku melakukannya setiap hari. Memang sulit. Aku merangkum semua dalam satu kata, yakni syukur. Aku menyukuri atas diriku sekarang.

Setiap bangun tidur aku bersyukur karena masih diberi kehidupan. Setiap bertemu dengan teman, aku bersyukur kerena aku masih bisa tersenyum kepada orang lain. Ketika aku bisa menciup tangan dan kening ibu, aku merasa betapa beruntungnya aku yang masih diberi kesempatan mendapatkan kasih sayang darinya dan berusah memberikan kasih sayang kepadanya.

Aku bersyukur bisa sadar untuk memaafkan, menerima, menghargai, dan mencintai diri!



Comments

Popular posts from this blog

Merdeka Belajar Meski Covid-19 Mengakar

Puisi Buat Teteh