Inilah Hidupku : Pulang Kampung Rutin

Jam empat lebih beberapa menit, mataku sudah membuka. Oksigen yang tipis kuhirup sebanyak mungkin dengan menguap. Peregangan alakadarnya kulakukan dengan menggeliat. Nikmat sekali. Aku memulai kehidupan hari ini.
Brr..Pagi yang dingin. Walau cuaca tek menentu, Bandung tetap saja dingin. Aku beranjak dari tempat tidur lusuh yang sepereinya sudah minta diganti seminggu terakhir ini. Tapi, belum sempat membeli alias kurang memprioritaskan. Asal bisa tidur nyenyak. That's enough. Aku segera menyambar handuk dan segera menembus dingin, masuk ke kamar mandi. Letak kamar mandi yang berada di luar kamar kontrakan, membuat dingin menusuk-nusuk kulit menembus tulang.
Tapi semua dingin hilang ketika air sudah mengguyur sekujur tubuh. Kesegaran merayapi setiap lekuk. I alive! Setelah menyemprotkan deodorant dan mengusap tubuh dengan lotion, mataku langsung tertuju pada si Lappy. Aku ingat kalau OS-nya lagi minta diupdate. Setelah baju membungkus tubuh segera kubuka si Lappy, menekan tombol power, mengetikan password, dan menancapkan modem. Setelah jaringan ter-set, langsung masuk ke kontrol panel dan mengetikan Windows Update di kotak Search. dan Tara....800 MB lebih harus diunduh dan otomatis juga menngisntal. Lumayan bakal lama!
Dan benar saja, it took almost three hours! Saya sudah sholat, check email, update sosmed, sarapan, dan menulis beberapa paragraf bakal cerpen. Hadeuh, ini update software lamanya minta ampun. Waktu sudah menunjukan saya harus usrip lagi--singakatan usaha ripuh, maklum aku sangat tidak menyukai pekerjaannya. Saatnya cabut!
Eh, kelupaan, hari ini aku, kan libur. I was back home again. hehehe, penyakit lupanya lagi kumat. Lupa kalau ini hari minggu. Hari ini waktunya pulang kampung bukan kerja rodi! Dengan celana diskon yang kepanjangan plus T-shirt diskon yang gak branded sama sekali aku sudah pede. Tak lupa tas selempang alias shoulder bag yang lumayan mahal buat pendapatan sekelas karyawan pabrik. Aku merasa jadi orang keren. Karena mengirit ongkos, aku meminjam motor kaka yang dulunya motorku yang diover kerditkan. Sudahlah, itu adalah pilihan yang tepat dari pada harus kehilangan 13 juta untuk tiga tahun ke depan. Aku harus mengenakan jaket yang satu-satunya kumiliki dibeli di toko baju pinggir jalan. Harganya? lumayanlah untuk ukuran kantong buruh. Dengan penuh percaya diri saya keluar pintu kontrakan.
Bungung menyergap. Pake sepatu atau sandal? hmm..maunya pake sepatu biar agak keren. Walaupun, sepatunya udah minta mau diganti. Tapi, masih baguslah kalau gak ujan. Solnya udah diganti tapi tetep kalau nginjak air pasti masuk ke dalam sepatu karena solnya udah bolong. Saya lihat cuaca. Cerah. Tapi, jangan-jangan nanti sore hujan. Jadinya, aku putuskan memakai sandal saja. Satu-satunya sandal gunung yang saya miliki. Let's go hometown!
Cianjur-Bandung. Kota yang amat dekat. Aku merasa manjadi katak dalam tempurung. Hanya dua tempat ini saja yang menjadi lingkup pergerakan. Umur sudah seperempat abad, Tapi, belum tahu kota-kota lain di Indonesia, bahkan Jawa Barat. Parah! But, I Always enjoy setiap kali pulang ke rumah seperti menapaki masa lalu dan bahan evaluasi seberapa sukses kita.
Angin sepoi mengusap-ngusap wajah. Sengaja kaca helm kubuka untuk melihat landscape yang luar biasa indah: hamparan sawah hijau yang telah menguning dititik tertentu dan ada juga kubangangan yang baru ditanam sehingga tanpak para petani dengan wajah baja bersahaja membungkuk menancapkan benih-banih padi ke titik yang telah ditentukan oleh cetakan khusus dari kayu ; pasir--pegunungan dengan ketinggian rendah yang berwana hijau muda, hujau tua, dan hijau kekuningan, sangat menyegarkan mata ; tampak saung beratapkan jerami yang telah kering mempercantik view. Aku hirup oksigen memenuhi rongga dada, hal yang sangat sulit didapatkan di kota, apalagi di kota yang menjadi basis industri alias blok pabrik dimana-mana. Setiap hari yang terhirup adalah polusi. Bau obat tekstil polyster menyeruak setiap pagi, tercium.


 Foto by Agus I D


Aku memasuki perbatasan kampung. Ada yang sedang kawinan alias hajatan pesta pernikahan. Siapa yang nikah? aku simpan pertanyaan untuk sampai ke rumah. tak lupa kaca helm aku tutup lagi. Aku paling tidak suka mata yang menatapku lekat. Tapi, aku menatap sekilas orang-prang yang sedang mengantri memberikan ucapan selamat kepada pasangan. Pasangannya tak terlihat!
Jalan kampung masih saja seperti dulu. Bahkan, mungkin lebih parah. Batu-batu menjadi permukaan jalan. jag jig jug....scooter yang aku kendarai terasa disiksa, badanku agak pegal juga. Yang sangat parah ketika masuk gang. Mungkin orang yang memasangkan setumpukan barangkal--matrial bekas bangunan berupa tembok yang dihancurkan--akan mempermudah kendaraan masuk ke gang. Eh, ini malah makin sulit karena tumpukan itu ternyata tak dipadatkan, disimpan begitu saja di muka gang. Sampai kapan pemerintah mau memperbaiki jalan kecamatan atau jalan desa yang menghubungkan antar kampung? beuh!
Semua goncangan jaln terasa terbayarkan setelah rumah dengan senyumnya menyambut kedatanganku. Wajah emak yang sudah sangat tua, lebih tua dari umurnya karena harus mengurusi sebelas anak dan belum selesai sampai sekarang karena ada dua kakakku yang masih menjadi tangungannya ditambah dua cucu yang dititpkan, apalagi kakak yang sudah nikahpun, yang tinggal bersebelahan dengan emak kadang masih minta ini-itu kepada emak. Emak dengan senyum ikhlas dan lugu menyambut kedatangan anak yang masih jauh dari kata berhasil ini. Aku mencium tangannya dan memeluknya. Moment yang aku rindukan setiap pulang ke rumah. Walaupun, terkadang malu karena pulang tanpa buah tangan.
Hari minggu ini aku sengaja pulang karena mengingat susu berkalsium tinggi untuk emak habis. Mungkin telat juga memberinya sebulan terakhir ini karena emak sudah tampak terkena osteoporosis--badannya udah agak bungkuk ke depan. Dulu sempat aku membelikan emak, tapi, gak berlanjut karena....ada dech. Rahasia! Tapi, itu mejadikanku anak durhaka.Oops! Moga diampuni. Emak hampura (maaf).
Suasana rumah yang berubah drastis dua puluh tahun ini. Tragis! apa lagi semenjak bapak meninggal tahun 2008, tambah tragis. Kenapa aku bilang tragis? Harta keluarga habis dipake untuk mengobati kakak perepmuanku yang sakit jiwa, ditambah lagi satu kaka laki-laki yang juga begitu akibat mendalami ilmu kebatinan. Suasana rumah yang dulunya ceria, bersahaja, Islam banget. Kini jadi terasa mencekam. Rasanya tak  ada masa depan untuk keluarga kami.
Aku yang kuliah malah berhenti tanpa diskusi dengan keluarga. Emak sudah bangga dan menaruh harapan besar. Tapi, apa boleh buat ada alasan pribadi yang tak bisa aku katakan kepada siapapun. Aku keluar--lebih tepatnya kabur alias men-DO sendiri--ketika semester empat, habis UAS, lagi nunggu hasil. But, let bygone be bygone! hidup dalam masa kini lebih baik. Aku juga sempat depresi berat ketika keluar kuliah dan semua rencana yang disusun gagal total. Mungkin bisa dikatakan sakit jiwa. Atau aku yang kelewat bego dan gak bisa gaul. Tahu ach! Sekali lagi, let bygone be bygone!
Sekarang di rumah, Emak tinggal dengan dua kaka saya yang sakit--yang laki-laki sekarang sembuh--dan dua keponakan yang annoying minta ampun--Sidik dan Wisnu. Di dekat rumah berdiri pesantren yang lengkap dengan madrasah dan beberapa kamar atau kobong, rumah kakak yang menjadi guru ngaji sekaligus pengurus pesantren yang bikin ilfeel berat, dan rumah kakak yang dibangun dari hasil kerja jadi TKW di timur tengah. Tragis juga kalau bercerita tentang kakak perempuan yang satu ini. Yah, minimal emak gak kesepian semenjak bapak meninggal.
Setiap pulang ke rumah pasti ada bahan cerita yang bikin hati miris. Melihat dua kakak yang sakit sudah pasti. Dan kali ini yang menjadi pokok masalah di rumah adalah tentang kakak perempuan yang dulu jadi TKW dan perjodohannya. Katakan saja namanya Teh I. Sudah banyak lelaki yang datang tapi dia menolak terus. Padahal dia sudah berumur, janda, dan yang jelas tidak cantik dan kaya. Itu semua membuat yang mencomblangi dan semua keluarga mengerutkan dahi dan bernafas naik turun. Entah apa maunya?
Dan yang menjadi bahan laporan atau cerita kali ini adalah tentang pernikahannya yang nyaris terjadi. Namun, gagal alias dibatalkan ketika H-1. Bayangkan! Keluarga jadi menanggung malu karena yang membatalkan adalah Teh I. Alasannya karena sang calon suami memiliki hutang ratusan juta akibat pembagian harta gono-goni dengan mantan istrinya. Aku mendengarkan setiap detil cerita emak. Sampai antiklimaksnya, Teh I malah langsung dijodohkan lagi dengan laki-laki lain.
Hari minggu ini adalah hari dimana laki-laki yang dijodohkan itu datang. Aku sampai kelimpungan harus ngobrol apa sambil menunggu kakak yang guru ngaji datang untuk membicarakan hal yang serius. Aku yang jarang sekali bersosialisasi hanya berkata, "hmmm....hmm..." kemudian ngacir berusaha terus mengontak kakak yang sedang sibuk menjadi penyambut di acara pernikahan orang lain. Aku terus menelepon, tapi tak diangkat malah di rejected terus. Aku kirim SMS. Tak ada hasil. Akhirnya aku menerima saran emak untuk "mengirim" si Wisnu untuk menjemput.
Kakak guru ngaji langsung berbicara ke inti dengan laganya yang khas--underestimate ke orang lain. Aku menjadi pendengar. Aku juga ingin tahu kelanjutan perjodohan seperti apa, sekalian ingin melihat konten pembicaraan acara perjodohan. Dengan laganya kakak guru ngaji menyuruh mengambil asbak kepadaku. What! Mau tidak mau aku nyelonong mencari dengan dada penuh malu. Secara di depan tamu kakak yang katanya guru ngaji dan bikin lifil itu berkata, "Pangnyokotkeun asbak (ambilin asbak)!" sambil tangan kananya mengibas isyarat menyuruh dan tangan kiri, jarinya menjempit sebatang rokok. Padahal aku adalah orang yang anti-rokok karena alasan global warming dan kesehatan. Shit!
Aku pun mendengar dengan teliti setiap kata baik serius maupun guyonan. Full bahasa Sunda! sudah pasti aku tak akan bisa. Bahasa sundaku blepotan dan kasar. Seringnya nyampur dengan bahasa indonesia. Jadilah aku KC alias kambing conge yang tek berperan apa-apa. Aku hanya ikut bermuka serius ketika ngobrol inti dan ikut tertawa ketika ada guyonan.
Ternyata eh ternyata Teh I tak sedikitpun menyukai lelaki ini. "Kayak orang cacingan," katanya. Aku tak berkomentar apa-apa. Teh I malah berhubungan lagi dengan lelaki yang sudah diputuskan H-1. Pokoknya jadi ribeut! Teh I sampai mau nangis. Dia mengaku tidak mau dulu dicarikan calon, ingin menenangkan diri dulu. Lagi-lagi aku tak berkomentar. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Kok bisa kayak gini?!
Teh I meminta pendapatku. Aku hanya bilang, "Gimana teteh aja, terserah. Yang penting teteh bahagia." sambil memegang tangan teh I. Dia malah tampak semakin bingung. Aku yang menonton aja bingung. Antara hati dan realitas : Hati teh I yang ternyata malah jadi condong ke lelaki H-1 atau realita di hadapan, mumpung ada lelaki yang berpeluang menjadi suami mengingat kondisi teh I yang saya katakan tadi.
Aku merasa menonton drama keluarga yang...membuat geleng-geleng kepala. Klimaksnya ketika teh I diminta menemuai sang calon. Dengan laganya kakak guru ngaji menyuruhku lagi, "suruh Teh I ke sini." Aku segera menjemput teh I. Teh I bergeming sambil wajahnya mau nangis tanggung, wajah nangis tapi tak keluar air mata. Aku terus membujuk. Diapun mau beranjak.
Teh I masih berada di ruangan lain. di sekat dengan satu tembok dengan ruang tamu. Dia malah jadi keuekuh gak mau menemui. Kakak guru ngajipun berang dan mendatangi si teh I. Teh I pun datang "mengahadap" sang calon suami dengan wajah cemas, ketus, mau nangis tanggung sambil memalingkan wajah. Kakak guru ngaji berusaha mencairkan suasana dengan guyonan.
Kakak guru ngaji meminta Teh I dan calonnya dinikahkan segera. Saat itu juga. Gila! Tanpa ada ta'aruf atau semacamnya. Tapi, ya namanya juga darurat mengingat keadaan Teh I di usianya. Jelas sang calon tidak siap. Dia meminta tangguhan waktu 10 hari. Kakak guru ngaji ingin ada kepastian secepatnya. Hasilpun diperoleh : besok sore pihak calon suami akan memberi kepastian jadi tidaknya menikah. Sang calon suami pun pamit. Sebagai catatan : sang calon suami  ditemani seorang kerabatnya.
Sepulangnya tamu, langsung kakak guru ngasji menumpahkan segala amarah. Kata-katanya bukan lagi Abdi(Saya/aku)-teteh, tapi, Sia(lu)-Aing(Gue) sambil bentak-bentak. Aku bengong dan miris menatap teh I dan tambah ilfil memperhatikan kakak guru ngaji sekaligus kasihan karena dia yang menanggung malu setiap ada perjodohan yang dibatalkan oleh teh I. Emak juga ikut-ikutan berang melihat tingkah anaknya, Teh I. Emak juga merasa malu luar biasa ketika ada lelaki yang ditolak oleh  teh I.
Aku malah ada ide untuk membuat cerpen yang menceritakan gejolak batin teh I. Aku dengan cuek nya menulis kata-kata di note kecil sambil mendengarkan kakak guru ngaji marah-marah, emak juga, dan menatap teh I yang wajah yang "kasihan" banget.
Suasana pun tenang. Semua beranjak untuk Sholat Dzuhur. Aku kelaparan. Setelah Sholat langsung makan nasi putih plus sambal jahe pake terasi ditemani kepala pindang tongkol yang ditumis. Mantap! Menu sederhana yang istimewa. Aku makan dengan lahap. Saking semangatnya tak terasa sudah masuk ke piring ketiga.
Selesai makan, aku langsung beringsut mengambil air wudlu kemudian Sholat. Mata lima watt. Aku ngantuk berat. Secara habis makan tiga piring. Solat jadi gak khusuk. Bawaannya ingin langsung memejamkan mata. Astagfirullah! Itu sebabnya makan sebaiknya berhenti ketika enak. Tapi, nanggung juga sich kalau gitu, hehe.
Alam mimpi aku datang! Hep, aku langsung menukik kasur, menelungkup sambil memeluk bantal sekaligus jadi alas kepala. (Dipikir-pikir, aku manusia super malas juga. Aduh!)
Ketika membuka mata jam sudah menunjukan angka empat. Lama juga aku tidur. But, enak banget. Inilah gaya buruh yang cepek gak ketulungan ketika bekerja karena harus ngangkat dan mindahan barang-barang 25 kilo sampai ratusan kilo, menghabiskan libur week-end. Aku pun beranjak mandi. Byur...segerr...kenikmatan sederhana yang luar biasa.
Pulang kali ini aku tak memberi uang banyak kepada keponakan. Yang biasanya bisa nyampe puluhan ribu. Kali ini aku hanya memberu goceng masing-masing keponakan. (gak apa-apa dibilang pelit, emang lagi seret). Tapi, mereka tampak senang dengan pemberian segitu. Excited juga bisa lihat senyum mereka.
Aku berpamitan kepada emak, mencium tangannya dan memeluknya. Sambil bilang, "Mak, maafin aku sama doain ya." (udah ditranslate, aslinya bahasa sunda) dan menyalami semua keponakan. O ya, sebelum pulang aku ziarah dulu ke makam bapak yang ada di belakang rumah. Seperti biasa aku curhat kepada bapak dan sekalian minta didoain langsung dari alam kubur. Aku percaya jiwa yang sudah meinggal masih "hidup" dan mendengarkan orang yang masih hidup.
It's time to go back! Aku menderu scooter kakak di kecepatan sampai 90 ketika di jalan lurus dan 50-an di jalan berkelok pas Cipatat sampai mau ke Padalarang. Matahari beranjak digantikan oleh bulan. Malam merayap pelan. Gelap perlahan menyelimuti. Benderang lampu jalan, lampu kendaraan menjadi pendar di sepanjang jalan. Lumayan menyilaukan mata ketika dari arah berlawanan ada kendaraan. Aku harus menurunkan Speed!
Sampai di Mesjid Agung Cimahi sekitar jam magrib. Aku sholat. Ada yang aneh. Kok gelap? ternyata sedang ada mati lampu. Seumur-umur baru kali ini ada alun-alun mati lampu. untuk masuk mesjid aku memakai torch dari HP. Pengelola mesjid tidak menyediakan penerangan cadangan.
Muncul pikiran aneh! Aku berpikir bagaimana kalau langsung ke toko buku saja? Kan mumpung! Tapi, dirasa-rasa capek juga. Jadinya mendingan pulang.




Comments

Popular posts from this blog

Merdeka Belajar Meski Covid-19 Mengakar

Puisi Buat Teteh

Memaafkan Diri Sendiri