Tangisan Baksil
Kalian tahu Kota Bandung? Itu tempat
tinggalku. Tepatnya di Babakan Siliwangi. Aku sangat suka sekali terbang
menjelajahi surgaku. Mengepak sayap dengan semangat. Menenggerkan kaki dari
dahan ke dahan.
Aku tatap duniaku. Indahnya...! Walaupun,
banyak orang yang datang. Mereka semua pecinta lingkungan. Tak ada sampah
satupun yang mereka lemparkan ke hamparan rumput. Atau sengaja menunpukan
plastik sisa makanan mereka di bawah pohon. Ah, mereka bersahabat sekali.
Bahkan, banyak dari mereka yang mengajakku bicara,”Ayo makanlah!” kata
mereka sambil melemparkan remah-remah makanan. Aku kegirangan.
Aku
raba-raba senyum Baksil. Manis sekali. Sesekali aku mengobrol dengan pohon
ganitri tempat tinggalku. Katanya, “Baksil setiap hari tersenyum menjadi bagian
dari masyarakat Bandung. Dia senang sekali memberikan banyak udara segar kepada
anak yang baru belajar berjalan. Dia juga bahagia menatap manusia keriput
menyungging senyum ompong dengan cekung pipinya.” Kulihat Ganitri juga
tersenyum mengisahkannya. Sayangnya hanya dia yang mampu berbicara dengan
Baksil.
***
Gawat! Senja hari ini tidak indah. Aku
bertengger di dahan sambil mendengarkan seorang manusia berapi-api berbicara.
Matanya menyalang tajam. Tangannya bergerak tegas. Mulutnya keras meyuarakan
sebuah protes. Akan dibangun restoran di Baksil!
Akan semakin sempit tentunya. Surgaku akan
menangis sepertinya. Wajahnya akan dipermak! Ruang hijau mengecil. Aku segera
menyanyikan lagu sendu dengan paruh kecilku. Mengidungkan lantunan do’a kepada
sang Maha Pencipta agar pembangunan itu tidak terjadi.
Aku kembali ke rumahku. Aku temukan Ganitri
menangis tersedu-sedu.
“Kamu sudah tahu rupanya. Bagaimana kabar
Baksil?” tanyaku sesaat setelah aku bersidekap di sarang.
“Tentu saja aku tahu, Burung. Semua pohon di sini dengan
cepat menyiarkan kabar. Baksil kini sedang murung,” jawab Ganitri sambil terisak.
“Aku juga sedih. Tapi, aku hanya bisa berdo’a.
Tak bisa melakukan apa-apa. hanya bisa berkicau saja,” ucapku.
“Aku hanya bisa mematung menatap semua ini,” Ganitri masih
terisak.
“Aku akan terbang lagi, pergi melihat
manusia-manusia yang masih peduli dengan kita. Tadi kulihat mereka sedang
berkumpul untuk menentang pembangunan itu.” Aku beranjak, mengepakan sayap.
“Semoga mereka berhasil.” Ganitri menatap
sendu kepergianku.
***
CABUT SEMUA PERIZINAN PT EGI
Itulah rangkaian gambar yang aku lihat. Di
sampinya ada juga sebuah gambar pohon seperti beringin, warnya seperti warna
daun.
Manusia yang peduli itu semua berteriak.
Seperti harimau yang mengaum, teriankannya dibarengi mimik yang manakutkan.
Mereka bermuka berang. Aku menatap mereka dari salah satu dahan pohon di
pinggir jalan.
Rumah-rumah berjalan dan tempat duduk dengan
dua kaki berupa lingkaran harus berbagi dengan manusia yang hanya berjalan kaki
sambil membentangkan gambar tadi. Mereka berjalan bergerombol seperti
sekelompok rusa yang mencari makanan dari satu tempat ke tempat lain. Terik
matahari tak menghentikan mereka untuk menentang pembangunan di Baksil.
Aku kembali ke sarang menjelang malam. Aku
ceritakan apa yang aku lihat kepada Ganitri. Matanya berbinar kemudia berharap,”Semoga mereka semua
berhasil!”
Andai saja aku bisa bicara dengan semua pohon.
Aku akan beritahu mereka semua. Burung lainya telah kuberitahu. Tupai dan serangga juga. Kami
harus terus berdoa sambil bertasbih. Dengan cemas dan harap kami menunggu apa
yang selanjutnya terjadi.
***
Temanku, burung gereja terengah-engah dengan
kepakan sayapnya. Dia sengaja memberitahuku,”Masih belum jelas! Para manusia
masih melakukan perotes.”
“Apa yang terjadi?” tanyaku antusias penuh
cemas.
“Belum ada keputusan!” jawabnya sambil
bertengger di sampingku.
“Para manusia masih melakukan protes. Tapi,
tidak sama dengan waktu kemarin. Kali ini mereka melakukan pelepasan benda yang
mereka sebut lukisan seng, melakukan sebuah gerakan yang baru kulihat yang kata
mereka disebut seni,” lanjutnya.
“Semoga saja cepat selesai dan pembangunannnya
dibatalkan,” harapku.
“Kita harus lebih giat berdoa,” ucapnya.
Kami kemudian terbang, selanjutnya
berpisah untuk memberitahukan kepada penghuni Baksil lainnya apa yang tengah
terjadi. Yang pertama kau beri tahu tentu saja Ganitriku. Dia terlihat cemas
mendengar berita yang aku bawa.
***
“Baksil sebaiknya dijadikan Taman Botani...”
ucapan seorang laki-laki tua itu terdengar jelas olehku. Di hadapannya
berkumpul manusia. Mereka dengan seksama mendengar ucapan lelaki berkaca mata
itu. Taman Botani?semoga itu tidak buruk! Bisik batinku.
Orang-orang yang mendengarkan, kutahu persis
mereka. Mereka adalah orang-orang yang sejak awal menolak pembangunan itu.
***
Alhamdulillah! Ruang Terbuka Hujau (RTH) tetap
bertahan. Walaupun, jauh dari ketentuan. “Yang harusnya 30% dari wilayah kota.
Ini hanya ada 8,3%,” kata seorang manusia berceramah. Ya, minimal
pembangunan kali ini batal terjadi. Aku rasa Baksil tersenyum sumringah.
Aku teringat ketika dulu tersiar kabar akan
dibangunnya kondominium disini. Semua manusia itu, mereka dengan semangat
protes. Mereka menggebu-gebu menyampaikan keberatan.
Bandung, 2014
Comments
Post a Comment